Pulo Aceh adalah satu-satunya kecamatan di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, yang memiliki wilayah kepulauan. Kecamatan Pulo Aceh memiliki 10 pulau, namun hanya 3 pulau yang berpenghuni. Yaitu Pulau Nasi, Pulau Breueh, dan Pulau Teunom (Keureusek). Pulau terbesar, yaitu Pulau Breueh, terdiri dari 2 mukim, Mukim Pulau Breueh Selatan dan Mukim Pulau Breueh Utara, yang dibagi lagi menjadi 12 desa. Ibukota kecamatan Pulo Aceh berada di Lampuyang, sebuah desa yang termasuk dalam mukim Pulau Breueh Selatan.
Sebagai daerah kepulauan, mata pencaharian utama para penduduknya adalah nelayan. Berbagai jenis hasil laut seperti cumi-cumi, gurita, ikan tongkol, tuna dan lobster merupakan beberapa hasil utama Pulau Breueh yang kebanyakan diperdagangkan di Banda Aceh. Selain dari hasil laut, pertanian dan perkebunan juga menjadi mata pencaharian penduduk Pulau Breueh. Pulau Breueh memiliki topografi alam perbukitan dengan hutan yang masih sangat lebat di tengah pulau dan banyak pantai landai dengan pasir putih di sisi luarnya. Kondisi alam yang indah dan masih belum banyak tersentuh tangan manusia membuat Pulau Breueh memiliki potensi wisata yang sangat besar.
Hanya ada moda transportasi berupa boat nelayan pengangkut barang dan ikan yang setiap hari, kecuali Jumat, berangkat dari Pelabuhan Lampulo di Banda Aceh pukul 14.00 WIB. Perjalanan ditempuh kurang lebih selama 2 jam. Ada beberapa boat yang bisa dipilih, boat yang menuju ke desa Gugop atau boat yang menuju ke Lampuyang. Ada pula boat yang langsung menuju desa Meulingge, namun jadwalnya tidak pasti. Untuk mengawali petualangan di Pulau Breueh, lebih bagus dimulai dari desa Gugop, sebuah desa yang memiliki sarana dan prasarana cukup memadai di Pulau Breueh. Hanya ada 1 boat setiap hari yang menuju ke sana, bergantian antara KM Satria Baru atau KM Jasa Bunda. Untuk kembali ke Banda Aceh, boat dari desa Gugop berangkat pukul 08.00. Jangan sampai telat, karena jadwal keberangkatan boat ini sangat tepat waktu.
Bagaimana dengan makanan? Tidak ada restoran di Pulau Breueh. Kalaupun ada, mungkin sedikit sekali. Pada kunjungan saya beberapa waktu lalu saya tidak menemukan satu pun restoran atau warung makan. Tentu saja, apabila menginap di rumah penduduk lokal, makanan pun akan disediakan oleh mereka. Atau alternatif lain, membawa alat masak sendiri semacam kompor portable untuk memasak mie instan dan ikan yang bisa dipancing sendiri atau dibeli dari penduduk lokal. Tenang saja, untuk membeli bahan makanan mentah semacam mie instan ataupun beras masih bisa dilakukan di beberapa kios dan toko kelontong di sana.
Siapkan juga uang yang cukup untuk biaya selama di Pulau Breueh. Tidak terdapat Bank atau ATM di sana. Memang penduduk lokal kebanyakan tidak meminta uang dari para pelancong yang berkunjung ke Pulau Breueh atas jasa akomodasi selama di sana. Mereka sangat senang menerima dan sangat menghormati tamu. Namun, alangkah baiknya apabila pelancong memberikan uang paling tidak untuk mengganti uang belanja mereka.
Tidak jauh dari pusat Desa Gugop terdapat pantai yang sempurna untuk menikmati matahari terbenam. Pantai Lambaro namanya. Pantai yang landai, memiliki alur panjang, serta pasir putih yang memikat ini memang menghadap arah barat. Apabila langit cerah, matahari tenggelam akan tampak sangat indah. Kelebihan lainnya, pantai ini relatif sepi. Jadi, pelancong akan merasa seperti menikmati sunset di pulau milik pribadi. Tapi pantai yang sepi ini bisa berubah menjadi sangat ramai ketika hari-hari besar agama Islam, seperti sehari sebelum 1 ramadhan, hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sudah menjadi tradisi di Aceh, ketika hari raya penduduk lokal akan berbondong-bondong berkumpul di pantai. Menjadi salah satu tujuan utama di Pulau Breueh memberikan konsekuensi cukup buruk bagi pantai ini, yaitu sampah plastik yang berserakan. Bagi para pelancong, kalaupun tidak bisa ikut membersihkan pantai, tolong sekali, paling tidak jangan ikut mengotori. Bawa kembali sampah-sampah milik kalian.
Sekitar setengah jam naik motor dari desa Gugop, terletak Pantai Balu. Struktur pantai yang mirip dengan Pantai Lambaro ini merupakan salah satu primadona wisata di Pulau Breueh Selatan. Mungkin karena letaknya lebih jauh daripada Pantai Lambaro menjadikan pantai ini lebih jarang dikunjungi oleh orang. Sisi positifnya, Pantai Balu menjadi lebih bersih daripada Pantai Lambaro.
Berada di Pulau Breueh Utara, mercusuar Willems Torren III yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1875 ini bisa dibilang sebagai sajian utama wisata di Pulau Breueh. Mercusuar ini bisa ditempuh dengan waktu tempuh perjalanan selama 2 jam dari desa Gugop menggunakan sepeda motor. Siapkan fisik jika berkunjung ke sana. Walaupun sebagian jalan menuju ke desa Meulingge, desa terbarat di Indonesia tempat mercusuar ini berada, sudah diaspal, namun banyak bagian jalan lainnya yang masih berupa jalan tanah berbatu. Apalagi di 3 km terakhir menuju mercusuar, kesabaran akan diuji dengan sulitnya jalan yang dilalui. Namun perjuangan itu akan sirna begitu melihat mercusuar berwarna merah putih ini. Pemandangan Samudra Hindia, beberapa pulau terluar Indonesia, dan Pulau Weh yang terkenal dengan kota Sabang-nya, pasti memukau mata siapa saja yang memandang. Apalagi menikmati sunset dari atas mercusuar.
Apabila memiliki waktu longgar, kunjungi pula beberapa pelabuhan kecil seperti pelabuhan di desa Rinon, Meulingge, atau pun Lampuyang. Bahkan, di desa Lampuyang pelancong bisa mengunjungi tempat pembuatan kapal nelayan yang terbuat dari kayu. Beberapa pantai di Lampuyang juga bisa digunakan untuk menikmati matahari terbit. Dan, bagi pecinta petualangan, mendaki salah satu bukit yang konon di atasnya terdapat sebuah benteng Belanda juga menjadi alternatif kegiatan yang sangat menyenangkan. Dan temukan pula kisah-kisah unik dari tapal batas dengan banyak-banyak berinteraksi dengan penduduk lokal selama di salah satu pulau terbarat di Indonesia ini.
Berdasarkan folktale yang berkembang di masyarakat Pulo Aceh, nama Pulau Breueh dan Pulau Nasi berasal dari jenis makanan yang harus dibawa oleh pendatang ketika mengunjungi pulau tersebut di masa lampau. Dahulu, apabila ada orang yang datang ke Pulau Nasi, dari daratan Sumatra membawa nasi untuk bekal mereka. Namun ketika mereka pergi ke Pulau Breueh, karena letaknya yang lebih jauh, ternyata nasi yang dibawa dari rumah sudah menjadi basi. Sebagai pelajaran, akhirnya mereka membawa beras saja. Ya, breueh dalam Bahasa Aceh berarti beras. Lalu, kenapa dinamakan Pulau Nasi, bukan Pulau Bu (Bu dalam Bahasa Aceh berarti Nasi), atau Pulau Breueh, bukan Pulau Beras? Saya belum menemukan penjelasan yang memuaskan atas pertanyaan itu.